Wednesday, September 26, 2007

puisi

Kalam Keheningan


Telah kususun kalam keheningan

Sebelum malam dicekam kegelisahan

Merawat puisi pada selembar sabda nabi

Dan membaringkannya pada suhuf-suhuf suci

Pada ranah perjalanan yang tak mungkin terpuaskan

Hanya dengan setetes kepalsuan

Dimana lagi obat hati terpenuhi selain

Menenggelamkan pada keindahan, meskipun

Tak pernah menjadi kenyataan


Malang, 14 Ramadhon 1428



Mimpi Itu Bernama Kedamaian


Gigil malam terus menggerus hitam langitku

Padahal musim dingin telah lama berlalu

Sedang di luar selembar hikayat mondar-mandir ditepis semilir angin

Menoreh desau yang pernah jatuh di sehelai daun tanpa embun

Sebelum akhirnya luruh bersama air mata pecinta

Tepat di jantung mimpi. Hingga pada saatnya

Sekelebat bintang membangunkan;

bahwa fajar telah hadir

Mengecambahkan mimpi. Mimpi tentang sebuah kehidupan

Yang kuberi nama "Kedamaian"

namun gigil itu

Telah membekukannya kembali dan hanya sisakan

Derit angin yang tak mampu lagi kukejar


Malang, 14 Ramadhan 1428


Ta’wil Mimpi


Apa yang kau lihat dalam tidurmu

Bukanlah mimpi, melainkan kenyataan

Yang selama ini kurasakan namun tak kusadari

Lelaki itu adalah aku

Yang mondar-mandir dilanskap

Kemarau batin menggurun pasir

Linglung di pusara ard membaca

Lengkung jagad

Tertatih-tatih mencari arah matahari

Terbit dan tenggelam

Pada setapak nasib yang disetubuhi jurang

Bila kau lihat jurang itu disekelilingku, maka;

Jurang di depanku adalah ilusi pikiranku

pada masa depan

Jurang dibelakangku adalah halusinasi kedustaanku

pada tuhan

Jurang sebelah kananku adalah beban tanggung jawab

Terhadap orang-orang disekelilingku

Jurang sebelah kiriku adalah kebodohan dan ketidak berdayaanku

Pada diriku sendiri

Maka jangan terkejut bila-bila angin gurun datang

Membawa kabar dari malaikat maut

Bukankah adalah sebentuk kewajaran bila kematian ada disana?

Namun aku masih tetap berharap tuhan membawakan angin

Menerbangkan jasadku kembali ke rahim ibu

Atau Tuhan menganugrahi sayap dan terbang di angkasa

Impian ayahku.

Meski itu tidak mungkin terjadi padaku, tetapi

Tidak bagi Tuhan.


Malang, 14 Ramadhan 1428




jelaga Karam Di Tepi Dermaga


Sepetri kelibat gejora kau mewarta

Bahwa ada jelaga karam di tepi dermaga

--- Nun jauh disana

Di permulaan bulan kembang

Mengembang simpul tertikam mawar

Mekarkan merah tanpa wangi

Meningkahi musim sepi


Duhai … pergilah !,

dan jangan pernah kembali

Warnai langit dengan gerimis dan tangis


Malang, 14 Ramadhan 1428


Tuesday, September 25, 2007

Catatan Di Ujung Romadhon

Malam ini 13 ramadhan

Tepatnya pukul 09.10 Wib, bersama kawan

Sehabis sholat taroweh aku sempatkan

Bersahrul layali mengeliligi kota ini

Mengintip taman harum melati

Menaruh hati pada hening


Tapi sayang hingga tubuhku gigil

Tak seruangpun sediakan kewangian

Hanya kengerian yang semakin ngeri

Nyaliku ciut dan semakin ciut

Diantara sekian ribu manusia jajakan kesibukan

Pedagang, pembeli, kasir dan tukang parkir

Para sopir, kernek, petugas keamanan

Ibu-ibu rumah tangga juga para Pe Es Ka....

Mestikah hidup dibangun dari kesibukan ?

Tanyaku pada sehelai asap di ujung sigaret


Lalu kutangkap isyarat dari geliat asap

"Pepohonan, rerumputan, tanah, langit,

malaikat, bidadari mengajak renungi jarak

antara malam dan siang

bahwa ada yang segera meninggalkan

dan ditinggalkan"

O, Ramadhan akankah kau kembali, atau

mungkinkah bagiku menemui lagi ?

bersama mereka akhirnya kami buat taman

dari air mata


Malang, 13 Ramadhan 1428H


Wednesday, April 25, 2007

"BALAI-BALAI TUA"

B ila engkau ada kesempatan untuk menziarahi kotaku, jangan lewatkan untuk menengok, sukur-sukur meneliti sebuah balai-balai tua yang bediri menjulang diantara pohon-pohon kelapa dikelilingi sungai kecil dimana dulu para simon memancing ikan arwana, warna-warni bunga dipadu hijau rumput menghampar dan kesiak angin membelai bulu-bulu nyiur menari lentik.
Tapi jangan kaget bila ternyata balai-balai itu sekarang berubah warna sebagaimana yang telah aku gambarkan. Gedung Hendrick dulu orang menyebutnya, lantaran disanalah satu keluarga Hendrick beserta para abdi-abdi belanda tinggal. Sebuah bangunan tua keluaran tahun 20-an made in belanda yang pada awalnya adalah tempat peristirahatan orang-orang belanda yang mengawasi petani malang di perkebunan kelapa dan salah satunya adalah Hendrick yang akhirnya tinggal menetap karena pohon-pohon kelapa yang telah ditanam sudah mulai berbuah dan harus dijaga ketat.
Hari demi hari terus pergi tak terkecuali sejarah itu sendiri, setelah meletus perang dunia kedua seakan-akan gedung Hendrick semakin tak bermakna, seiring ditinggal pergi penghuninya entah kemana dan sekarang jatuh pada gengaman seorang kepala desa yang entah bagaimana pula prosedurnya, yang jelas sekarang bangunan kuno itu sepengetahuanku sesekali digunakan sebagai rapat dan kegiatan desa. Di depannya sudah ada papan kayu bertuliskan “Balai desa Sido Makmur” jauh sebelum kelahiranku. Itulah sebuah tempat yang dulunya kebun kelapa sekarang menjadi sebuah perkampungan kecil dengan Sarwono bertindak sebagai kepala desa dan tepat ditengah-tengahnya sebuah balai desa tua setua warna jingga cakawala sore itu. Dari sinilah sebenarnya cerita itu baru dimulai.

***
Seperti biasanya setiap akhir tahun desa Sido Makmur menyelenggarakan musyawarah evaluasi kerja dibalai-balai tua kebanggaan desa tak terkecuali Sarwono sebagai pimpinan musyawarah sore itu. Seluruh elemen desa begitu antusias mengikuti musyawarah itu terbukti banyaknya anggota yang hadir mulai aparatur desa, para sesepuh, kyai, santri, organisasi pemuda, orang-orang elit, alit sampai ibu-ibu dan nenek-nenek sebagai partisipan. Karena matahari sudah merambah senja sekdes segera membuka musyarawah itu dan di lanjutkan sambutan pak kades. "Saya mengucapkan banyak terima kasih pada bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian yang sudi hadir pada musyawarah ini,…pak lurah mengawali sambutannya….dan kehadiran bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudara sekalian adalah bukti bahwa sebagai warga yang baik dan taat pada pemerintah dalam ikut serta membangun desa ini untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang berkeadilan, beradab, berwibawa, aman, tentram, sejahtera, jujur serta demokratis. Para bapak ibu dan saudara sekalian yang saya hormati…Pada dasarnya musyawarah ini adalah pintu pertama kita untuk belajar jujur dan berdemokrasi, tanpa musyawarah rasanya kok sulit untuk dapat menyatukan visi misi pembangunan desa kita tercinta ini, betul……!!!'
"Betul………!!!" Jawab para hadirin serempak sambil mengangguk-angguk, walaupun kebanyakan mereka tetap saja bengong menatap keraguan terhadap apa yang baru saja diucapkan tanpa tahu apa maksudnya. Maklum sarwono adalah lulusan Fisipol jadi sambutanya panjang dan berbau si-si-an. Belum lama pak kades berbicara mendadak terdengar suara..
Rusaaaak ….!, Rusaaaaak……!, Rusaaaak…. !,
suara tanpa rupa melesat di sudut kendang telinga setiap orang yang berada di dalam balai-balai tua untuk mukerdes (musyawarah kerja desa) sore itu, kontan saja mereka berhamburan keluar mencari tempat suara, jangan-jangan ada kebakaran, jangan –jangan ada pencurian atau mungkin orang gila yang lagi kumat, batin mereka sambil lari tunggang langgang. Ah … ternyata ustad Basyir yang sebenarnya tak lagi asing bagi masyarakat setempat lantaran sering memberi ceramah dan pengajian keliling, juga bagi kalangan akademisi yang sering bergumul untuk berdiskusi tentang demokrasi, pluralisme dan isu-isu yang hangat sehangat hidangan roti bakar dan gedang goreng di balai-balai yang terpaksa dingin karena ditinggal berserakan begitu saja di lantai.

Rusaaaak…… Rusaaaak ……..Rusaaaak !!!
Suara histeris yang selalu mendesah dari mulut berdarah dengan wajah pucat pasi, bergetar seakan-akan pohon-pohon akan roboh oleh gempa tektonik berskala 9,5 richter, dan nafas yang mengerang tersendat-sendat laiknya malaikat Izrail sedang menghentakkan kakinya dengan alat pencabut nyawa tergemgam di tangannya, sementara keringat dingin terus bercucuran hingga membasahi kering debu-debu halaman yang sejak satu tahun lalu haus akan kemurahan hujan. Munir ….! Kau cari air minum, suruh engkong haji jupri gugup. Memet…. Tolong panggil kang hasan (abdi ustad Basyir), seru kang kohar. Maman….. cepat cari dokter, suruh cak hasim setengah membentak, dan aku akan membawa ustaad Basyir ke dalam balai dulu, sembari mulut engkong haji Jupri tak henti-hentinya komat-kamit membaca mantra, sementara yang lain membaca kalimah-kalimah toyibah dari takbir bersaut tahlil, dari tahlil menggema tauhid ya Allah… Allah…. Allah… Masyaallah sedang yang lain hanya merintih Basyir….. apa yang terjadi Sir… sadar Sir … Bangun Sir… sesekali berteriak ya Allah….! di padu tangis bocah-bocah hingga suasana membahana aroma kematian.


***
Sejenak suasana sunyi senyap seakan-akan angin sedang tau apa yang terjadi, mataharipun tak henti-hentinya mengawasi dengan mata menggelayut di kelopak kubur. Tiga jam telah lewat, Basyir masih terbaring kaku. Para kyai telah berkumpul untuk membaca segala doa diikuti bacaaan yasin para santri, para dukun telah tiba untuk mendatangkan perewangan dan khodam dari arah yang terduga, tak ketinggalan para petugas P3K ikut ambil bagian memberikan nafas buatan, mengoleskan minyak kayu putih, ramuan dan bobok, tiba giliran dokter untuk mempraktekkan konsep dan teori untuk mendetektsi semua bagian tak kelewatan jantung dan nadinya, tetapi hasilnya nihil ustad basyir tetap lelap belum ada tanda-tanda akan siuman entah berapa jam lagi beliau akan membuka mata dan menyadari apa yang telah terjadi. Semua warga tambah panik tak tahu apa yang harus dikerjakannya.
"bagaimana kalau kita panggil ambulance dan membawa ke rumah sakit saja" usul salah satu warga dengan cerdas.
"tapi rumah sakit terlalu jauh, ambulace tak mungkin bisa masuk ke desa kita lagi pula administrasinya terlalu berbelit inilah, itulah dan kita tahu Basyir tak punya keluarga di sini apalagi uang yang cukup untuk of name". jelas kang hasan ketus.
"ya.. sudah akan saya buatkan surat rekomendasi dulu dari keluarahan agar bebas biaya". Kata Sarwono tegas.
Suasana tambah semparawut tak jelas apa yang harus dikerjakan. Sementara yang lain hanya bisa harap-harap cemas agar matahari tidak buru-buru meninggalkan balai-bali tua itu. Beberapa menit kemudian pak lurah datang menyerahkan selembar kertas lengkap dengan tanda tangan dan stempelnya. Bergegaslah kang hasan pergi ke rumah sakit.
Rusaaaak…… Rusaaaak ……..Rusaaaak !!!
Basyir berteriak lagi dan kali ini lebih histeris pelan tapi mengerikan.
" apanya yang rusak Syir….., sabar syir, tenang syir….. ambulance segera datang. Ambil air putih..! " perintah haji Jupri yang semakin ngawur.
Dan pelan berlahan beliau terus berkata rusaak…rusak…ru…sa…k…rus…ak…r..u..s..a..k.
Sempurna sudah bunyi konsonan itu lepas dari jangkar penyiksaan membumbung tinggi meliuk di langit balai-balai mengiringi kepak sang Izrail kembali kehadirat-Nya. Kematian bagi si miskin adalah istirahat dari alam kefanaan menuju alam kebakaan, alam kebebasan, keindahan dan kebahagian sedangkan kemaian bagi si kaya adalah istirahat dari alam beban menuju alam pertanggung jawaban. Sebagaimana di ketahui ustad Basyir adalah orang sederhana, beliau hanya tinggal di kamar ukuran 3X3 menempel di masjid, itu saja atas izin pak lurah karena beliau harus merawat masjid mulai kebersihan, azan, iqomah dan ngimami. Belum lagi kalau harus mengisi pengajian keliling setiap malam jumat dan mengajar di luar kota. Bahkan sampai akhir hayatnya warga tak pernah tahu beliau berasal dai mana, mau apa di deasa itu dan akan kemana tujuannya.
Malam mulai larut dan pelayat terus berdatangan bahkan ada yang dari luar kota ada yang berjalan ada yang mengendarai sepeda motor juga di seberang jalan setapak itu terlihat banyak mobil parkir sehingga para warga sibuk mencari alat penerangan dan ship-shipan menjadi juru parkir, kawatir para pencoleng, perampok dan pencuri mengambil kesempatan di balik kempitan, maklum semenjak krisis moneter banyak penjahat kelas berat suka nekat seiring meningkatnya setan, jin dan dedemit yang semakin inteleks, raionalis dan sok reformis. Bersamaan para pelayat mobil ambulance datang tapi apa boleh dikata nasi sudah menjadi bubur, para warga sudah menggali kubur, ustad Basyir sudah terbujur dan para ibu-ibu sudah membuat kopi dan teh di dapur.
Pak lurah meletakkan jenazah Basyir diatas meja pajang di tutupi kain batik keris dari pekalongan. Para pelayat bergantian mesolati hingga hampir pukul 03.00 dini hari. Karena warga sudah merasa kecapekan maka pak lurah memberikan penawaran, "saudara-saudara sekalian bagaimana kalau upacara penguburkan jenazah ustad Basyir kita tunda besok pagi saja saat matahari mulai terbit"
" setuju… pak, karena sebentar lagi kita juga akan menunaikan ibadah sholat subuh" kata salah satu warga menimpali ucapan pak lurah.
Sembari menunggu solat subuh para warga ada yang ngobrol ada yang duduk-duduk bahkan ada yang sudah merebah di ubin balai-balai dengan rokok yang masih menyala di sela-sela jarinya.
Di tengah kesunyian yang mencekam terdengar suara samara-samar "engkong haji"….kata kang Su'ud was-was, "saya masih penasaran dengan misteri kematian ustad Basyir"
"iya ya, beliau selalu berkata rusak…rusak !!" sahut engkong haji Jupri keheranan.
"Jangan-jangan beliau sedang punya masalah, tapi sama siapa?" imbuhnya.
"Padahal kemaren baru saja memberi ceramah maulud nabi dan satu ayat yang saya ingat Kullu Syain Haalikun Illa wajhah". Kata kang kohar seakan-akan mengulang memorinya.
"Atau mungkin karena merasakan peta pasca pemilu 2004 yang semakin tak jelas arahnya juga ulah politikus yang tak karuan dan cenderung oportunis". Tukas kang Munir dengan analisa sosialnya.
"Atau jangan-jangan melihat ulah mahasiswanya yang sudah tak waras, dengan trend free -sexnya, kissing, making, datting, petting di sembarang tempat. Alah dasar jaman sudah edan. Kata kang memet ketus.
"O.. tidak saya kira karena beliau bingung memikirkan nasib wong cilik yang bodoh tur melarat". Sergah kang Hasim sok tahu tapi lugu. "Atau barangkali beliau mimpi buruk sehingga urat sarafnya terganggu dan jiwanya guncang" ia menambahi analisanya.
Namun sebelum semua itu terjawab pekat malam telah membawa mata mereka pada alam bawah sadar.

***
Ayam jantan berkokok mereka terperanggah dan buru-buru menunaikan sholat subuh, selang tak berapa lama sang surya bangkit membiaskan guratan-guratan merah membuka kelopak cakrawala membawa berita baru. Pak lurah bergegas memimpin warganganya. "Saudara-saudara sekalian mari upacara penguburan ustad Basyir kita mulai….."
Mereka berebut membawa keranda mayat itu untuk menjadi yang pertama, giliran waktunya mengangkat keranda itu tiba-tiba terasa ada sesuatu yang aneh, namun mereka mencoba menepis perasaan itu dan terus mengangkat, tapi semakin lama perasaan itu semakin tak dapat di kelabuhi, keranda itu terasa ringan akhirnya diantara mereka memberanikan diri usul pada pak modin " pak modin ada sesuatu yang mengganjal di hati saya dan sebelum jenazah ini diberangkatkan perkenankan saya membuka keranda ini". Setelah di perkenankan mereka turunkan lagi keranda itu dan membukanya. Allahu Akbar ……Subhaanallaah…!!! Teriak mereka melihat jasad ustad Basyir tak ada dan keranda itu kosong.

Penulis Adalah Pemerhati Sastra Arab Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.

Monday, April 23, 2007

salam kenal

met bergabung di webblogMasally

Secangkir Kopi
_Sajak buat calon istriku


Di secangkir kopi kutuang pahit dan manis
Harapan bersamamu
Tempat kita merapat rindu
Di hari minggu
Semisal hitam setiap pagi kita seruput
Sambut matahari di tepi pertemuan; antara
Kita dengan takdir
Yang tak pernah kita sadari sebelum semuanya
mengalir

Habiskan sayang…
Karena dari hitam gelas pertama
Kita akan tahu hitam putih perjalanan cinta

Malang 10 sept 2005